Selasa, 06 Oktober 2015

Etika Yang Ada Di Indonesia/ Adat Istiadat

Etika menurut Dr. James J. Spillane SJ, Etics atau etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarah atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Etika yang masih dilakukan oleh masyarakat Betawi
Masyarakat Betawi kebanyakan adalah pemeluk agama Islam yang taat. Oleh karena itu, tidak heranlah bila tata cara kehidupan mereka sehari – hari bernafaskan Islam. Seberapa besar peran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari bisa tampak dari beberapa hal sebagai berikut:
  • Menghentikan semua kegiatan ketika waktu sholat tiba. Masyarakat Betawi pada umumnya akan menghentikan sejenak aktivitas mereka untuk beribadah secara rutin.
  • Menguburkan jenazah secepatnya. Apabila ada kerabat yang meninggal mereka akan menguburkan secepatnya.
  • Menikahkan anak gadis ketika mereka telah mencapai usia yang cukup.
  • Menjamu tamu dengan berbagai hidangan sesuai kemampuan mereka. Masyarakat Betawi selalu berusaha memberika hidangan setiap ada tamu berkunjung ke rumah mereka.
  • Mendahului dalam memberi salam.
  • Saat bersalaman mereka akan lebih dulu mengulurkan tangan dan paling akhir saat melepaskan salaman mereka.
Diluar beberapa hal di atas masih ada beberapa hal yang dipegang teguh oleh masyarakat Betawi diantaranya adalah  tetap menjaga sikap hormat kepada orang yang lebih tua. Dalam keseharian, penghormatan terhadap orang yang lebih tua ini dihadirkan dalam sikap memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada orang yang lebih tua saat melakukan sesuatu. Misalnya saat berjalan mereka akan memberi jalan kepada orang tua agar berjalan lebih dulu, saat hendak duduk anak-anak muda Betawi akan mempersilahkan orang yang lebih tua untuk duduk terlebih dulu dan banyak lagi. Demikiah pun saat berbicara dengan orang tua, orang yang lebih muda pantang menggunakan kata “Gue” tetapi mereka akan lebih memilih kata ganti diri saye, aye atau menggunakan nama mereka sendiri.
  1. Tradisi Perjodohan
Dalam adat istiadat pernikahan Betawi, orang tua sangat berperan dan bisa dikatakan peran anak tidak begitu besar. Diawali dengan kunjungan seorang jejaka ke rumah gadis yang dia idamkan yang dalam istilah betawi dikenal sebagai tradisi ngelancong. Di rumah si gadis, jejaka hanya ditemui oleh ayahnya, si gadis hanya diperbolehkan mengintip dari balik pintu. Pada saat acara ngelancong ayah si gadis akan meminta si jejaka untuk meminang si gadis secepatnya.
Pinangan tidak dilakukan secara langsung oleh orang tua sang jejaka melainkan diserahkan pada utusan pihak keluarga pria yang biasanya juga dikenal baik oleh pihak keluarga gadis yang hendak dipinang. Selain itu, keluarga pria juga meminta seorang wanita yang dipercaya atau mak comblang untuk menyelidiki kesunguhan keluarga wanita berbesan dengan mereka. Setelah lamaran diterima pihak wanita maka resmilah perjodohan mereka. Kemudian dibuatlah kesepakatan kedua belah pihak dalam menentukan kapan waktu pernikahan yang tepat.
     2.  Tradisi Pernikahan
Description: images
Dalam adat betawi ada tradisi “palang pintu”. Tradisi ini merupakan budaya yang sudah turun-temurun. Dalam adat betawi, tradisi “palang pintu” diawali dari datangnya calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita bersama dengan besannya (anggota keluarga besar) dengan membawa seserahan.
Setelah calon pengantin pria sampai di rumah calon pengantin wanita, ada perwakilan dari pihak wanita yang ada menghalangi perjalanan sang pria untuk menemui pujaan hatinya itu. Di sini akan ada balas pantun yang akan diwakili oleh seseorang yang dipercaya oleh masing-masing calon pengantin. Setelah balas pantun semakin memanas, mulailah salah satu pihak mengajak “duel” atau mengadu silat. Para palang pintu biasanya menggunakan pakaian khas Betawi, menggunakan baju, celana, sendal, peci, dan tak lupa gesper besar yang berwarna hijau.
Pertarungan ini memiliki syarat yaitu, jika pihak laki-laki yang menang maka calon pengantin laki-laki beserta keluarga besarnya boleh masuk ke rumah calon pengantin wanita. Namun, jika pihak wanita yang menang maka calon pengantin laki-laki diminta pulang kembali ke rumahnya dan meninggalkan rumah calon pengantin wanita.
Setelah syarat disepakati oleh kedua belah pihak, pertarungan pun terjadi. Mulai dari saling pukul, tendang, bahkan menggunakan golok sebagai senjata yang membuat suasana semakin tegang. Selama pertarungan dilangsungkan, kedua palang pintu akan saling menyerang. Namun, pada akhirnya palang pintu dari pihal calon pengantin laki-laki yang akan memenangkan pertarungan tersebut. Setelah pertarungan tersebut selesai, maka calon pengantin laki-laki dan keluarga besarnya dipersilahkan untuk masuk dan pernikahan dilaksanakan.
Roti buaya adalah hidangan Betawi berupa roti manis berbentuk buaya. Roti buaya senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi.
Masyarakat Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya; karena itu roti ini dipercaya melambangkan  kesetiaan dalam perkawinan. Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki. Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa). Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan.Akan tetapi kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang).
Perkawinan bagi banyak masyarakat dianggap sangat penting. Perkawinan dipandang sebagai peristiwa sosial dan agama. Perkawinan bukan saja bermakna sebagai peralihan dari masa lajang ke kehidupan berumah tangga tetapi juga dipandang sebagai pemenuhan kewajiban agama. Di samping itu, perkawinan juga dipandang sebagai suatu wadah untuk menunjukkan gengsi kemasyarakatan.
Kelompok: (4EB10)
  1. Hastyn Haula Ulfah
  2. Nurul Irmawati
Sumber:

  1. Seri Budaya Betawi, Gado-Gado Betawi, Emot Taendiftia, Syamsyudin Mustafa, Atmanani R, PT Grasindo, 1996.
  2. http://cinta-betawi.blogspot.com/2012/02/nilai-ke-betawian-sebagai-identitas.html
  3. http://www.kompasiana.com/ulfarahmatania/palang-pintu-ciri-khas-pernikahan-ala-betawi_552919696ea8347c498b45b4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar