Minggu, 18 Januari 2015

Memanusiakan Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima (PKL) di beberapa kota besar identik dengan masalah kemacetan arus lalu lintas, karena PKL memanfaatkan kelompok pedagang itu memanfaatkan trotoar sebagai media berdagang.

Kelompok ini pun kerap diusir dan dikejar petugas karena mempergunakan lahan bisnis tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan.

Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi mereka karena menyediakan harga lebih miring. Lihat saja, bagi mereka yang berpendapatan cekak pedagang kaki lima adalah pilihan.

Hal ini membuat pembersihan usaha mikro itu di lokasi-lokasi strategis menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Setiap hari mereka ulet berjuang untuk menghidupi keluarga, sembari kucing-kucingan dengan aparat. Akankah perjuangan itu harus dilalui sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan sampai bertahun-tahun?

Akhir-akhir ini berbagai institusi, baik pemerintah maupun swasta mulai memberi perhatian bagi kelangsungan bisnis pedagang kaki lima, salah satunya Kementerian negara Koperasi dan UKM.

Ikhwan Asrin, Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM, menyatakan PKL dalam visi instansi itu adalah pengusaha tangguh yang harus dihargai.

"Mereka harus dihargai karena perjuangannya luar biasa. Tidak pernah menerima permodalan dari pemerintah maupun perbankan, akan tetapi bisa survive," tegas Ikhwan.

Sebagai penghargaan untukmereka, kata-kata pedagang kaki lima dihilangkan dari kamusnya, diganti pedagang kreatif lapangan, karena sebutan pedagang kaki lima telah menurunkan derajat pebisnis mandiri.

Kelompok itu justru mampu menciptakan lapangan kerja dan penyumbang retribusi bagi pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, Kementerian Koperasi telah menginstruksikan penggantian istilah itu kepada pimpinan dinas terkait maupun kabupaten/kota.

"Jika PKL diarahkan dan dibina serta diberdayakan, dampaknya terhadap perekonomian daerah dan nasional sangat dahsyat," katanya. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11 juta orang.

Penyediaan lahan


Selain pengubahan istilah, pejabat daerah juga diminta menyediakan lahan bagi mereka. Dampak jangka panjangnya menampung tenaga kerja tambahan nonformal sebagai tenaga lepas ataupun menambah pendapatan asli daerah dari retribusi PKL dan parkir.

"Jika PKL diarahkan dan dibina serta diberdayakan, dampaknya terhadap perekonomian daerah dan nasional sangat dahsyat."

Program semacam ini mulai dilaksanakan di Sumbar. Untuk ketertiban dan mencuatkan kesan profesional, pemerintah setempat meregistrasi calon-calon pedagang yang akan menempati areal baru.

Sementara itu, Koperasi Properti Usaha Kecil Menengah Indonesia


(Kopukmi) di Pusat Grosir Cililitan (PGC) mengorganisasikan 130 PKL di sekitar bekas Gedung Ramayana Blok M untuk menempati lantai dasar WRS Bazar Center, nama baru Ramayana.

Kelompok itu sebelumnya berkeliaran, kini tertib di lantai tanpa fasilitas pendingin ruangan. Namun, Kopukmi belum menggunakan pedagang kreatif lapangan.

Rizal Mulyana, Ketua Kopukmi dan juga Direktur Operasional PT Wahana Rezeki Semesta (WRS), menuturkan lokasi bagi pedagang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial koperasi dan perusahaannya.

"Kami berupaya membuktikan bahwa mereka adalah pengusaha gigih. Mereka bahkan bersedia memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan yang kami terapkan," ungkap Rizal Mulyana.

Dengan misi peningkatan kualitas hidup PKL, sebelumnya berdagang di jalanan dan dianggap momok karena berbaur dengan preman, temyata masih bisa dibina. "Mereka hanya berupaya mencari uang demi hidup keluarga."

Dari Surabaya, Braman Setyo, Kepala Dinas UKM Jawa Timur, beru paya menciptakan lingkungan koi.-dusif bagi lokasi PKL dengan membuat klaster PKL di kabupaten/kota Jatim.

"Saya sudah mendapat instruksi dari Gubernur Jawa Timur," tukas Braman. Saat ini hanya tiga kota besar yang bisa merelokasi PKL, yakni Malang, Surabaya dan Jember.

Dia mengaku tidak malu mengadopsi model yang sukses diterapkan Kota Manado dalam menata PKL. Kota di Sulut ini telah menciptakan suasana nyaman dalam penanganan pedagang kaki lima karena mereka tak lagi berkeliaran.

http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:memanusiakan-para-pedagang-kaki-lima-&catid=54:bind-berita-kementerian&Itemid=98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar